BUNG KARNO dikenal bukan hanya sebagai seorang orator ulung yang bisa menggerakkan massa, dan politikus andal yang telah mendapat reputasi dunia. Tetapi juga sebagai seorang petualang cinta yang banyak menaklukkan hati gadis-gadis Belanda.
Dalam buku karya Cindy Adams yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengakui dirinya sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda, dan ingin sekali menjalin hubungan percintaan dengan mereka.
"Aku sangat tertarik dengan gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali berpacaran dengan mereka. Hanya inilah satu-satunya cara yang kuketahui untuk menunjukkan keunggulanku terhadap bangsa kulit putih," kata Bung Karno seperti dikutip dalam halaman 53.
Dengan kata lain, keinginan Soekarno muda untuk menaklukkan gadis-gadis Belanda, selain karena dorongan hasrat seksualnya, juga sebagai taktik perjuangan dalam menaklukkan bangsa kulit putih (Barat) oleh bangsa kulit sawo matang (Jawa).
Sebelum beranjak lebih jauh tentang petualangan cinta Bung Karno dengan gadis-gadis Belanda, baiknya diketahui sedikit latar belakang situasi sosial dan politik saat itu. Dimulai dari bergabungnya Bung Karno dengan Tri Koro Darmo.
Tri Koro Darmo yang berarti Tiga Tujuan Suci adalah perkumpulan pertama yang diikuti Bung Karno. Perkumpulan ini memiliki semangat kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial. Perkumpulan kedua yang diikuti Soekarno adalah Jong Java.
Selain dua perkumpulan itu, Soekarno juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler Studieclub di HBS. Dalam rapat kelompok belajar inilah, Soekarno mengaku pertama kali melakukan pidatonya. Saat itu usia Soekarno telah menginjak 16 tahun.
"Karena aku duduk di tengah hadirin, aku melompat dan berdiri di atas meja, suatu perbuatan yang penuh emosi," kenangnya.
Meski sedikit gugup, Soekarno berhasil mengendalikan dirinya. Dengan tutur bahasa yang tertata baik, dia mengatur nada bicaranya, sehingga setiap orang yang hadir dalam rapat tersebut bisa menyimak apa yang disampaikannya.
Saat itu, Soekarno mengkritisi (menentang) pandangan tentang keharusan menguasai bahasa Belanda. Dia memulai paparannya dengan mengungkapkan kebesaran Indonesia pada masa Nusantara. Dijelaskan, Nusantara memiliki ribuan pulau besar dan keci.
"Banyak di antara pulau-pulau ini lebih besar dari Negeri Belanda. Jumlah penduduk Negeri Belanda hanya sepersekian dari penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipakai oleh enam juta orang. Jadi mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?"
Paparan Soekarno tersebut kontan menimbulkan polemik dari para peserta rapat Studieclub. Ada yang menolak, ada juga yang sependapat. Menurutnya, hal pertama yang harus dikuasai bangsa Indonesia adalah bahasa Ibunya sendiri, yakni Melayu.
Baru kemudian bahasa asing, dan itupun bukan bahasa Belanda. Melainkan bahasa Inggris yang pada masa itu telah menjadi bahasa diplomatik. Bung Karno sukses dengan pidatonya. Perhatian peserta Studieclub pun kemudian berpaling kepadanya.
Setelah melihat gaya berpidato Soekarno, Ketua Kelompok Debat Profesor Hartagh mengatakan, sebagai orator Soekarno sangat berhasil dalam mempengaruhi massa, dan sebagai pemimpin politik, Soekarno dianggap bisa memimpin anak-anak muda.
Dalam pertemuan yang lain, pernah Profesor Hartagh mengatakan di hadapan 20 orang murid HBS, bahwa Soekarno akan menjadi pemimpin besar di kemudian hari. Ucapan guru bahasa Jerman ini terbukti, Soekarno menjadi Presiden Indonesia pertama.
Selain Profesor Hartagh, ada juga guru HBS yang sangat menyenangi Soekarno. Guru perempuan itu mengajar bahasa Prancis. Dia bahkan memberi nama Belanda kepada Soekarno, Karel dan memanggilnya Schat yang berarti sayang.
Meski memiliki kedekatan dengan sejumlah guru HBS, di sekolah Soekarno tetap mendapat diskriminasi dari murid-murid Belanda. Saat hari pertama masuk HBS, Soekarno langsung terlibat perkelahian dengan rekannya yang orang Belanda.
"Setiap hari aku pulang babak belur. Aku bukan seorang jagoan. Sekalipun aku dapat menahan penghinaan, aku tidak dapat menghindari perkelahian. Terkadang aku mengalahkan mereka, tetapi lebih sering aku yang kalah," kata Soekarno.
Dalam pelajaran, murid pribumi juga kerap mendapat diskriminasi. Nilai kecakapan seorang siswa dalam pelajaran selalu diukur dengan nilai. Namun betapapun kerasnya murid pribumi belajar, nilai murid Belanda selalu lebih tinggi.
Pernah suatu ketika, dalam pelajaran melukis, para siswa HBS diminta melukis gambar kandang anjing. Di saat semua siswa sedang sibuk menggambar kandang anjing, Soekarno telah melangkah jauh, menggambar kandang lengkap dengan anjingnya.
"Guru kami menunjukkan lukisanku ke seluruh kelas. Dia mengatakan, 'lukisan ini begitu hidup dan penuh perasaan, sehingga layak mendapat nilai setinggi mungkin.' Tetapi apakah aku memperoleh angka yang paling tinggi itu? Tidak," terangnya. (SindoNews)
Dalam buku karya Cindy Adams yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengakui dirinya sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda, dan ingin sekali menjalin hubungan percintaan dengan mereka.
"Aku sangat tertarik dengan gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali berpacaran dengan mereka. Hanya inilah satu-satunya cara yang kuketahui untuk menunjukkan keunggulanku terhadap bangsa kulit putih," kata Bung Karno seperti dikutip dalam halaman 53.
Dengan kata lain, keinginan Soekarno muda untuk menaklukkan gadis-gadis Belanda, selain karena dorongan hasrat seksualnya, juga sebagai taktik perjuangan dalam menaklukkan bangsa kulit putih (Barat) oleh bangsa kulit sawo matang (Jawa).
Sebelum beranjak lebih jauh tentang petualangan cinta Bung Karno dengan gadis-gadis Belanda, baiknya diketahui sedikit latar belakang situasi sosial dan politik saat itu. Dimulai dari bergabungnya Bung Karno dengan Tri Koro Darmo.
Tri Koro Darmo yang berarti Tiga Tujuan Suci adalah perkumpulan pertama yang diikuti Bung Karno. Perkumpulan ini memiliki semangat kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial. Perkumpulan kedua yang diikuti Soekarno adalah Jong Java.
Selain dua perkumpulan itu, Soekarno juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler Studieclub di HBS. Dalam rapat kelompok belajar inilah, Soekarno mengaku pertama kali melakukan pidatonya. Saat itu usia Soekarno telah menginjak 16 tahun.
"Karena aku duduk di tengah hadirin, aku melompat dan berdiri di atas meja, suatu perbuatan yang penuh emosi," kenangnya.
Meski sedikit gugup, Soekarno berhasil mengendalikan dirinya. Dengan tutur bahasa yang tertata baik, dia mengatur nada bicaranya, sehingga setiap orang yang hadir dalam rapat tersebut bisa menyimak apa yang disampaikannya.
Saat itu, Soekarno mengkritisi (menentang) pandangan tentang keharusan menguasai bahasa Belanda. Dia memulai paparannya dengan mengungkapkan kebesaran Indonesia pada masa Nusantara. Dijelaskan, Nusantara memiliki ribuan pulau besar dan keci.
"Banyak di antara pulau-pulau ini lebih besar dari Negeri Belanda. Jumlah penduduk Negeri Belanda hanya sepersekian dari penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipakai oleh enam juta orang. Jadi mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?"
Paparan Soekarno tersebut kontan menimbulkan polemik dari para peserta rapat Studieclub. Ada yang menolak, ada juga yang sependapat. Menurutnya, hal pertama yang harus dikuasai bangsa Indonesia adalah bahasa Ibunya sendiri, yakni Melayu.
Baru kemudian bahasa asing, dan itupun bukan bahasa Belanda. Melainkan bahasa Inggris yang pada masa itu telah menjadi bahasa diplomatik. Bung Karno sukses dengan pidatonya. Perhatian peserta Studieclub pun kemudian berpaling kepadanya.
Setelah melihat gaya berpidato Soekarno, Ketua Kelompok Debat Profesor Hartagh mengatakan, sebagai orator Soekarno sangat berhasil dalam mempengaruhi massa, dan sebagai pemimpin politik, Soekarno dianggap bisa memimpin anak-anak muda.
Dalam pertemuan yang lain, pernah Profesor Hartagh mengatakan di hadapan 20 orang murid HBS, bahwa Soekarno akan menjadi pemimpin besar di kemudian hari. Ucapan guru bahasa Jerman ini terbukti, Soekarno menjadi Presiden Indonesia pertama.
Selain Profesor Hartagh, ada juga guru HBS yang sangat menyenangi Soekarno. Guru perempuan itu mengajar bahasa Prancis. Dia bahkan memberi nama Belanda kepada Soekarno, Karel dan memanggilnya Schat yang berarti sayang.
Meski memiliki kedekatan dengan sejumlah guru HBS, di sekolah Soekarno tetap mendapat diskriminasi dari murid-murid Belanda. Saat hari pertama masuk HBS, Soekarno langsung terlibat perkelahian dengan rekannya yang orang Belanda.
"Setiap hari aku pulang babak belur. Aku bukan seorang jagoan. Sekalipun aku dapat menahan penghinaan, aku tidak dapat menghindari perkelahian. Terkadang aku mengalahkan mereka, tetapi lebih sering aku yang kalah," kata Soekarno.
Dalam pelajaran, murid pribumi juga kerap mendapat diskriminasi. Nilai kecakapan seorang siswa dalam pelajaran selalu diukur dengan nilai. Namun betapapun kerasnya murid pribumi belajar, nilai murid Belanda selalu lebih tinggi.
Pernah suatu ketika, dalam pelajaran melukis, para siswa HBS diminta melukis gambar kandang anjing. Di saat semua siswa sedang sibuk menggambar kandang anjing, Soekarno telah melangkah jauh, menggambar kandang lengkap dengan anjingnya.
"Guru kami menunjukkan lukisanku ke seluruh kelas. Dia mengatakan, 'lukisan ini begitu hidup dan penuh perasaan, sehingga layak mendapat nilai setinggi mungkin.' Tetapi apakah aku memperoleh angka yang paling tinggi itu? Tidak," terangnya. (SindoNews)
0 Response to "Petualangan Cinta Bung Karno dengan Gadis-gadis Belanda (Bagian1)"
Posting Komentar