SETIAP 5 Oktober kita memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI). Kita semua tentu mengucapkan selamat sambari berharap TNI semakin kuat menjaga kedaulatan republik. Kekuatan TNI tidak hanya bertumpu pada gelaran senjata (alutsista) yang dimiliki, tetapi juga pada kemampuan TNI mendefinisikan ancaman secara tepat dan meresponsnya secara tepat.
Tidak kalah penting bagaimana TNI mampu mengagregasikan potensi kekuatan rakyat sebagai kekuatan utama negara. Maka, sangat tepat motto HUT yang digagas TNI sejak beberapa tahun terakhir yang mengafirmasi kebersamaan TNI dengan rakyat merupakan faktor utama yang menjadikan TNI kuat, hebat, dan profesional. Hal ini ditegaskan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam amanatnya pada HUT TNI di Mabes TNI Cilangkap, Rabu 5 Oktober 2016 yang mengatakan agar TNI selalu terus hidup berdampingan bersama rakyat karena hal ini merupakan ciri dari TNI yang tidak boleh pudar. Bersama rakyat TNI kuat.
Jika kita baca sejarah lahirnya, TNI memang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, cikal bakal TNI adalah laskar-laskar rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata seadanya untuk melawan penjajah dengan persenjataan yang modern di masanya. Maka, raison de etre TNI ya rakyat itu sendiri sehingga sangat tepat jargon yang sering kita baca dan dengar: bersama rakyat TNI kuat.
Rakyat sebagai kekuatan utama tidak diragukan lagi. Rakyatlah yang berjuang merebut kemerdekaan saat TNI belum terbentuk. Dus, keinginan kuat TNI untuk selalu bersama—dan menumbuhkan potensi kekuatan—rakyat menunjukkan kesadaran sejarah TNI yang bukan saja tepat, tapi juga cerdas.
Kekuatan dan Ancaman
Di awal artikel penulis mengatakan bahwa kekuatan TNI utamanya terletak pada kemampuan mendefinisikan (potensi) kekuatan negara berikut ancamannya secara tepat pada era yang terus berubah. Dalam konteks ini, TNI secara tepat mendefinisikan hal tersebut dalam dua tema yang selalu didengungkan oleh TNI yaitu ”semangat gotong-royong” dan ”ancaman perang proxy”.
Dua tema ini sejatinya berfokus pada satu hal yaitu ”kekuatan rakyat”. Pesannya jelas sebagaimana ungkapan masyhur Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Sudirman: Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, dan tidak ada persatuan tanpa silaturahmi. Indonesia kuat dan jaya jika rakyatnya bersatu dan pengejawantahan persatuan yang paling konstruktif adalah dalam bentuk semangat ”gotong-royong”. Sementara ancaman terbesar terhadap jiwa dan semangat gotong-royong adalah upaya pecah belah dalam bentuk ”perang proxy”.
Kurang lebih satu tahun silam Fraksi PKS DPR secara khusus mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mempresentasikan perspektif dan analisisnya terhadap permasalahan kebangsaan pada Seminar Nasional F-PKS dengan tema ”Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan” (26 Agustus 2015).
Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki bangsa ini untuk menyelesaikannya.
Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai sebuah bangsa yang santun dan gotong-royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan.
Rakyat sangat mudah disulut konflik. Elite politik saling bertarung kepentingan dan melupakan hakikat musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Di antara lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—bahkan kehilangan kepercayaan (trust) merujuk konflik antara KPK vs Polri, pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat.
Akibat itu, kita menjadi abai pada masalah fundamental bangsa, ikatan kebangsaan menjadi rapuh, sumber-sumber ekonomi secara tak sadar dikuasai dan dieksploitasi asing, kita menjadi sulit fokus pada pengembangan ekonomi dalam negeri sebagai basis competitiveness di antara bangsa-bangsa, arah pembangunan juga menjadi kabur. Dan, fenomena inilah, menurut Panglima, di antara aktualisasi perang proxy yang mengancam negara kita dan semestinya kita sadari secara serius.
Perang proxy adalah istilah yang merujuk pada konflik yang terjadi di antara atau di dalam negara di mana negara/kelompok musuh tidak serta-merta terlibat langsung dalam peperangan karena melibatkan proxy alias wakil atau kaki tangan mereka. Perang proxy merupakan bagian dari modus perang asimetris yang tidak dibatasi oleh besaran kekuatan tempur dan luasan daerah pertempuran sebagaimana dalam perang konvensional. Perang ini terjadi di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara serta tidak terlihat karena menggunakan segala macam cara.
Ancaman perang ini semakin sulit ditangani karena sifatnya yang terselubung, musuh yang tak tampak, tapi sangat efektif melumpuhkan kekuatan inti negara. Ia bisa berupa serbuan budaya dan ideologi destruktif, media yang merusak, eksploitasi sumber daya alam, dan perusakan generasi bangsa melalui narkoba dan pergaulan bebas, termasuk upaya menyulut konflik antarsesama anak bangsa dengan isu-isu tertentu. Itu semua dilakukan melalui pihak ketiga dan strategi ini terbilang lebih efektif daripada berhadap-hadapan secara diametral.
Solusi dan Harapan
Menghadapi tantangan dan ancaman nyata tersebut kita tentu menyambut baik upaya TNI yang secara aktif melakukan sosialisasi dan program kemitraan dengan seluruh elemen bangsa untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong-royong dan menghadang setiap upaya pelemahan negara dalam bentuk perang proxy.
Di sinilah seruan Panglima yang mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila menjadi sangat relevan. Pancasila sejatinya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat sila kelima.
TNI bisa diharapkan menjadi yang terdepan dalam mempertahankan ideologi Pancasila. Maka, respons tegas TNI terhadap ancaman ”bangkitnya” paham komunisme (termasuk juga liberalisme) adalah satu hal yang membanggakan dan kita dukung penuh.
TNI juga aktif mengarusutamakan ancaman perang proxy. Sejauh ini hanya TNI yang begitu serius dan konsen terhadap ancaman nyata yang merasuki berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini.
Maka, kita berbangga hati dengan langkah TNI melakukan penandatanganan pakta pertahanan perang proxy media dengan belasan lembaga/ organisasi dalam rangka memerangi ancaman perang proxy media beberapa waktu silam. Sembari berharap agar kerja sama ini semakin diperluas tidak hanya dengan kalangan media dan masyarakat sipil, tapi juga dengan elemen pendidikan, aparatur negara, lembaga-lembaga negara, dan tak kalah penting dengan elemen politik (partai politik). Fraksi PKS memastikan akan mendukung dan ambil bagian dalam pakta pertahanan perang proxy ini.
Terakhir, penulis berharap agar TNI mempertahankan loyalitasnya semata-mata untuk kepentingan rakyat dan negara dengan menjaga netralitas dan independensinya atas semua kepentingan politik dan golongan. Tetaplah bersama rakyat dan jangan pernah berhadap-hadapan dengan rakyat karena di sanalah letak kekuatan utama TNI dalam menjaga kedaulatan republik. Dirgahayu TNI Ke-71. Tabik. (SindoNews)
Tidak kalah penting bagaimana TNI mampu mengagregasikan potensi kekuatan rakyat sebagai kekuatan utama negara. Maka, sangat tepat motto HUT yang digagas TNI sejak beberapa tahun terakhir yang mengafirmasi kebersamaan TNI dengan rakyat merupakan faktor utama yang menjadikan TNI kuat, hebat, dan profesional. Hal ini ditegaskan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam amanatnya pada HUT TNI di Mabes TNI Cilangkap, Rabu 5 Oktober 2016 yang mengatakan agar TNI selalu terus hidup berdampingan bersama rakyat karena hal ini merupakan ciri dari TNI yang tidak boleh pudar. Bersama rakyat TNI kuat.
Jika kita baca sejarah lahirnya, TNI memang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, cikal bakal TNI adalah laskar-laskar rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata seadanya untuk melawan penjajah dengan persenjataan yang modern di masanya. Maka, raison de etre TNI ya rakyat itu sendiri sehingga sangat tepat jargon yang sering kita baca dan dengar: bersama rakyat TNI kuat.
Rakyat sebagai kekuatan utama tidak diragukan lagi. Rakyatlah yang berjuang merebut kemerdekaan saat TNI belum terbentuk. Dus, keinginan kuat TNI untuk selalu bersama—dan menumbuhkan potensi kekuatan—rakyat menunjukkan kesadaran sejarah TNI yang bukan saja tepat, tapi juga cerdas.
Kekuatan dan Ancaman
Di awal artikel penulis mengatakan bahwa kekuatan TNI utamanya terletak pada kemampuan mendefinisikan (potensi) kekuatan negara berikut ancamannya secara tepat pada era yang terus berubah. Dalam konteks ini, TNI secara tepat mendefinisikan hal tersebut dalam dua tema yang selalu didengungkan oleh TNI yaitu ”semangat gotong-royong” dan ”ancaman perang proxy”.
Dua tema ini sejatinya berfokus pada satu hal yaitu ”kekuatan rakyat”. Pesannya jelas sebagaimana ungkapan masyhur Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Sudirman: Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, dan tidak ada persatuan tanpa silaturahmi. Indonesia kuat dan jaya jika rakyatnya bersatu dan pengejawantahan persatuan yang paling konstruktif adalah dalam bentuk semangat ”gotong-royong”. Sementara ancaman terbesar terhadap jiwa dan semangat gotong-royong adalah upaya pecah belah dalam bentuk ”perang proxy”.
Kurang lebih satu tahun silam Fraksi PKS DPR secara khusus mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mempresentasikan perspektif dan analisisnya terhadap permasalahan kebangsaan pada Seminar Nasional F-PKS dengan tema ”Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan” (26 Agustus 2015).
Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki bangsa ini untuk menyelesaikannya.
Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai sebuah bangsa yang santun dan gotong-royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan.
Rakyat sangat mudah disulut konflik. Elite politik saling bertarung kepentingan dan melupakan hakikat musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Di antara lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—bahkan kehilangan kepercayaan (trust) merujuk konflik antara KPK vs Polri, pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat.
Akibat itu, kita menjadi abai pada masalah fundamental bangsa, ikatan kebangsaan menjadi rapuh, sumber-sumber ekonomi secara tak sadar dikuasai dan dieksploitasi asing, kita menjadi sulit fokus pada pengembangan ekonomi dalam negeri sebagai basis competitiveness di antara bangsa-bangsa, arah pembangunan juga menjadi kabur. Dan, fenomena inilah, menurut Panglima, di antara aktualisasi perang proxy yang mengancam negara kita dan semestinya kita sadari secara serius.
Perang proxy adalah istilah yang merujuk pada konflik yang terjadi di antara atau di dalam negara di mana negara/kelompok musuh tidak serta-merta terlibat langsung dalam peperangan karena melibatkan proxy alias wakil atau kaki tangan mereka. Perang proxy merupakan bagian dari modus perang asimetris yang tidak dibatasi oleh besaran kekuatan tempur dan luasan daerah pertempuran sebagaimana dalam perang konvensional. Perang ini terjadi di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara serta tidak terlihat karena menggunakan segala macam cara.
Ancaman perang ini semakin sulit ditangani karena sifatnya yang terselubung, musuh yang tak tampak, tapi sangat efektif melumpuhkan kekuatan inti negara. Ia bisa berupa serbuan budaya dan ideologi destruktif, media yang merusak, eksploitasi sumber daya alam, dan perusakan generasi bangsa melalui narkoba dan pergaulan bebas, termasuk upaya menyulut konflik antarsesama anak bangsa dengan isu-isu tertentu. Itu semua dilakukan melalui pihak ketiga dan strategi ini terbilang lebih efektif daripada berhadap-hadapan secara diametral.
Solusi dan Harapan
Menghadapi tantangan dan ancaman nyata tersebut kita tentu menyambut baik upaya TNI yang secara aktif melakukan sosialisasi dan program kemitraan dengan seluruh elemen bangsa untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong-royong dan menghadang setiap upaya pelemahan negara dalam bentuk perang proxy.
Di sinilah seruan Panglima yang mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila menjadi sangat relevan. Pancasila sejatinya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat sila kelima.
TNI bisa diharapkan menjadi yang terdepan dalam mempertahankan ideologi Pancasila. Maka, respons tegas TNI terhadap ancaman ”bangkitnya” paham komunisme (termasuk juga liberalisme) adalah satu hal yang membanggakan dan kita dukung penuh.
TNI juga aktif mengarusutamakan ancaman perang proxy. Sejauh ini hanya TNI yang begitu serius dan konsen terhadap ancaman nyata yang merasuki berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini.
Maka, kita berbangga hati dengan langkah TNI melakukan penandatanganan pakta pertahanan perang proxy media dengan belasan lembaga/ organisasi dalam rangka memerangi ancaman perang proxy media beberapa waktu silam. Sembari berharap agar kerja sama ini semakin diperluas tidak hanya dengan kalangan media dan masyarakat sipil, tapi juga dengan elemen pendidikan, aparatur negara, lembaga-lembaga negara, dan tak kalah penting dengan elemen politik (partai politik). Fraksi PKS memastikan akan mendukung dan ambil bagian dalam pakta pertahanan perang proxy ini.
Terakhir, penulis berharap agar TNI mempertahankan loyalitasnya semata-mata untuk kepentingan rakyat dan negara dengan menjaga netralitas dan independensinya atas semua kepentingan politik dan golongan. Tetaplah bersama rakyat dan jangan pernah berhadap-hadapan dengan rakyat karena di sanalah letak kekuatan utama TNI dalam menjaga kedaulatan republik. Dirgahayu TNI Ke-71. Tabik. (SindoNews)
0 Response to "Semangat Kebersamaan TNI-Rakyat Dalam HUT TNI Ke 71"
Posting Komentar